Posted by : Unknown
Minggu, 26 Januari 2014
Satu kata cinta Bilal:
“Ahad!”
Dua kata cinta Sang Nabi:
“Selimuti aku…!”
Tiga kata cinta Ummu Sulaim
“Islammu, itulah maharku!”
Empat kata cinta Abu Bakr
“Ya Rasulullah, saya percaya…!”
Lima kata cinta ‘Umar
“Ya Rasulullah, izinkan kupenggal lehernya!”
*******
Selamat datang di jalan cinta para pejuang!
Dia sangat bersih, wajahnya berseri-seri,
bagus perawakannya, tidak merasa berat karena gemuk.
tidak bisa dicela karena kepalanya kecil, elok dan tampan,
dimatanya ada warna hitam, bulu matanya panjang,
lehernya jenjang, matanya jelita, memakai celak mata,
alisnya tipis, memanjang dan bersambung,
rambutnya hitam,
jika diam dia tampak berwibawa,
jika berbicara dia tampak menarik,
dia adalah orang yang paling elok dan menawan jika dilihat dari kejauhan,
tampan dan manis setelah mendekat.
::. Ummu Ma’bad Al Khuzaiyyah, tentang Rasulullah .::
bagus perawakannya, tidak merasa berat karena gemuk.
tidak bisa dicela karena kepalanya kecil, elok dan tampan,
dimatanya ada warna hitam, bulu matanya panjang,
lehernya jenjang, matanya jelita, memakai celak mata,
alisnya tipis, memanjang dan bersambung,
rambutnya hitam,
jika diam dia tampak berwibawa,
jika berbicara dia tampak menarik,
dia adalah orang yang paling elok dan menawan jika dilihat dari kejauhan,
tampan dan manis setelah mendekat.
::. Ummu Ma’bad Al Khuzaiyyah, tentang Rasulullah .::
“Ya Rasulullah,” Kata ‘Umar perlahan, “Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.”
Beliau Salallahu’alaihi wa sallam tersenyum. “Tidak wahai ‘Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu.”
“Ya Rasulullah”, kata ‘Umar, “Mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini,”
“Nah, begitulah wahai ‘Umar.”
selalu tersenyum-senyum sendiri jika membaca petikan percakapan ini,
kenapa?…
ya karena ‘Umar yang terkenal akan perawakannya yang besar, pembawaannya yang kokoh dan tegap, karakternya yang keras, begitu dengan mudahnya menggeser pilihan-pilihan tentang siapa yang seharusnya mendominasi cintanya. Bagaimana ‘Umar menyederhanakan kerja cintanya begitu luar biasa.
“Karena ‘Umar memahami-” tulis Salim A fillah “-Cinta adalah kata kerja-adalah persoalan berusaha untuk mencintai. bahwa cinta bukanlah gejolak hati yang datang sendiri melihat paras ayu atau jenggot rapi. Bahwa, sebagaimana cinta kepada Allah yang tak serta merta mengisi hati kita, setiap cinta memang harus diupayakan. Dengan kerja, dengan pengorbanan, dengan air mata, dan bahkan darah.”
“Di jalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik ketaatan.. Meloncati rasa suka dan tidak suka.. Melampaui batas cinta dan benci.. Karena hikmah sejati tak selalu terungkap di awal pagi.. Karena seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat.. Maka taat adalah prioritas yang kadang membuat perasaan-perasaan terkibas..
Tapi yakinlah, di jalan cinta para pejuang, Alloh lebih tahu tentang kita..”
di sana, ada cita dan tujuan
yang membuatmu menatap jauh ke depan
di kala malam begitu pekat
dan mata sebaiknya dipejam saja
cintamu masih lincah melesat
jauh melampaui ruang dan masa
kelananya menjejakkan mimpi-mimpi
yang membuatmu menatap jauh ke depan
di kala malam begitu pekat
dan mata sebaiknya dipejam saja
cintamu masih lincah melesat
jauh melampaui ruang dan masa
kelananya menjejakkan mimpi-mimpi
lalu disengaja malam terakhir
engkau terjaga, sadar, dan memilih menyalakan lampu
melanjutkan mimpi indah yang belum selesai
dengan cita yang besar, tinggi, dan bening
dengan gairah untuk menerjemahkan cinta sebagai kerja
dengan nurani, tempatmu berkaca tiap kali
dan cinta yang selalu mendengarkan suara hati
teruslah melanglang di jalan cinta para pejuang
menebar kebajikan, menghentikan kebiaaban, menyeru pada iman
walau duri merantaskan kaki,
walau kerikil mencacah telapak
sampai engkau lelah, sampai engkau payah
sampai keringat dan darah tumpah
tetapi yakinlah, bidadarimu akan tetap tersenyum
di jalan cinta para pejuang
Aku percaya.
Maka aku akan melihat keajaiban
Iman adalah mata yang terbuka
Mendahului datangnya cahaya
Yang aku tahu, Allah bersamaku.
Nuh yang bersipayah membuat kapal di puncak bukit tentu saja harus menahan geram ketika dia ditertawai, diganggu, dan dirusuh oleh kaumnya. Tetapi, sesudah hampir 500 tahun mengemban risalah dengan pengikut yang nyaris tak bertambah, Nuh berkata bijak, dengan cinta, “Kelak kami akan menertawai kalian sebagaimana kalian kini menertawai kami.”
Ya. Nuh belum tahu bahwa kemudian banjir akan tumpah. Tercurah dari celah langit, terpancar dari rekah bumi. Air meluap dari tungkunya orang membuat roti dan mengepung setinggi gunung. Nuh belum tahu. Yang ia tahu adalah ia diperintahkan membina kapalnya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah akan bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya. ‘Alaihis Salaam..
Ibrahim yang bermimpi, dia juga tak pernah tahu apa yang akan terjadi saat ia benar-benar menyembelih putera tercinta. Anak itu, yang lama dirindukannya, yang dia nanti dengan harap dan mata gerimis di tiap doa, tiba-tiba dititahkan untuk dipisahkan dari dirinya. Dulu ketika lahir dia dipisah dengan ditinggal di lembah Bakkah yang tak bertanaman, tak berhewan, tak bertuan. Kini Isma’il harus dibunuh. Bukan oleh orang lain. Tapi oleh tangannya sendiri.
Dibaringkanlah sang putera yang pasrah dalam taqwa. Dan ayah mana yang sanggup membuka mata ketika harus mengayau leher sang putera dengan pisau? Ayah mana yang sanggup mengalirkan darah di bawah kepala yang biasa dibelainya sambil tetap menatap wajah? Tidak. Ibrahim terpejam. Dan ia melakukannya! Ia melakukannya meski belum tahu bahwa seekor domba besar akan menggantikan sang korban. Yang diketahuinya saat itu bahwa dia diperintah Tuhannya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya. ‘Alaihis Salaam..
Musa juga menemui jalan buntu, terantuk Laut Merah dalam kejaran Fir’aun. Bani Israil yang dipimpinnya sudah riuh tercekam panik. “Kita pasti tersusul! Kita pasti tersusul!”, kata mereka. “Tidak!”, seru Musa. “Sekali-kali tidak akan tersusul! Sesungguhnya Rabbku bersamaku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Petunjuk itu pun datang. Musa diperintahkan memukulkan tongkatnya ke laut. Nalar tanpa iman berkata, “Apa gunanya? Lebih baik dipukulkan ke kepala Fir’aun!” Ya, bahkan Musa pun belum tahu bahwa lautan akan terbelah kemudian. Yang dia tahu Allah bersamanya. Dan itu cukup baginya. ‘Alaihis Salaam..
Merekalah para guru sejati. Yang kisahnya membuat punggung kita tegak, dada kita lapang, dan hati berseri-seri. Yang keteguhannya memancar menerangi. Yang keagungannya lahir dari iman yang kukuh, bergerun mengatasi gejolak hati dan nafsu diri. Di jalan cinta para pejuang, iman melahirkan keajaiban. Lalu keajaiban menguatkan iman. Semua itu terasa lebih indah karena terjadi dalam kejutan-kejutan. Yang kita tahu hanyalah, “Allah bersamaku, Ia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Nuh belum tahu bahwa banjir nantinya akan tumpah
ketika di gunung ia menggalang kapal dan ditertawai
Ibrahim belum tahu bahwa akan tercawis domba
ketika pisau nyaris memapas buah hatinya
Musa belum tahu bahwa lautan kan terbelah
Saat ia diperintah memukulkan tongkat
Di Badar Muhammad berdoa, bahunya terguncang isak
“Andai pasukan ini kalah, Kau takkan lagi disembah!”
Aku belum tahu akankah hidupku ini rampung dengan indahnya
Tersungkur dalam sujud syukur ataukah taubat mengiba ampunan kala nanti waktu ku tiba,
Yang aku tahu, Allah perintahkan diri ini sempurnakan ikhtiar hingga ke batas nadir,
Yang aku tahu, Allah bersamaku…
Sumber : Salim A. Fillah dalam Buku Jalan Cinta Para Pejuang