Posted by : Unknown
Sabtu, 09 Juni 2012
Musim kali ini memang sedang tak menentu, berubah-ubah dengan cepat, sehingga para pakar atau ilmuwan pun tak dapat memperkirakannya. Atau mungkin dunia ini memang sudah tua, sudah terlalu capek menghadapi berbagai macam zaman. Ribuan bahkan jutaan tahun lamanya ia setia menjaga dirinya, memegang tugasnya melayani manusia dan mahluk lainnya.
Selalu memberikan kemampuan terbaiknya, memberikan apapun yang ia punya. Coba saja kita pikir, dia tak pernah meminta, yang ia lakukan hanya memberi dan selalu memberi. Ketika kita butuh minum, ia hadiahkan kita air yang jernih dan berlimpah. Sedangkan kita balas dengan limbah yang kotor dan bau.
Tapi ia tak pernah marah, ia malah memberi kita dengan segalanya. Ketika kita lapar dan butuh makanan, ia tumbuhkan segala macam tanaman yang dapat kita makan, binatang ternak, ikan-ikan dan segala kekayaan alam. Ketika kita butuh tempat berteduh, ia pun memberikan kekayaan alam miliknya untuk kita olah dan kita miliki.
Namun pernahkah kita memikirkan apa yang akan kita berikan untuknya? Selama ini kita hidup dalam meminta-minta, apa kita tak malu dengan semua kebaikannya? Sedangkan kita sama sekali tak pernah memberikan apapun padanya. Tidakkah kita begitu egois? Begitu sombong dengan yang kita miliki saat ini, padahal apa yang kita miliki pun adalah hasil pemberian darinya.
Alam memang selalu baik pada kita, saking baiknya ia rela kita injak-injak, kita kotori, kita rusak, kita hancurkan. Tapi ia begitu sabar dan baik hati, meski sebetulnya ia pun menahan sakit, menahan luka, menahan keluh kesahnya sendiri tanpa kita perduli.
Jadi jangan salahkan ia jika kini tubuhnya tak kuat lagi, sudah terlalu banyak luka di tubuhnya. Ibarat orang tua yang renta dan penuh luka-luka memar dan membusuk di sekujur tubuhnya. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu saja, menunggu saatnya tiba.
Aku hanya bisa berpikir, alam saja bisa setia dan seteguh itu menjalankan tugasnya sebagai mahluk Tuhan.
Sedangkan aku, aku manusia. Yang katanya mahluk paling sempurna, diberi berbagai macam kelebihan dalam diriku. Yang katanya sebagai kahalifah atau pemimpin di dunia. Tapi baru di kasih sakit sedikit saja sudah mengeluh, baru di kasih cobaan sedikit saja sudah merengek, baru di kasih luka sedikit saja sudah merengis. Aaah.. Pemimpin macam apa aku ini?, disuruh belajar sabar saja sudah tak bisa. Selalu beralasan kalau sabar itu ada batasnya, padahal itu semua alasanku untuk menutupi ketidakmampuanku menghadapi cobaan dan ujian yang mengharuskanku lebih bersabar.
Mengeluh dan mengeluh itu yang selalu ku lakukan, saat recana tak sesuai harapan, saat mimpi-mimpi tak berbuah kenyataan. Harusnya aku malu, harusnya aku tahu diri, harusnya aku lebih pandai bersyukur.
Saat masih di syurga, aku berjanji pada Tuhanku akan selalu mengabdikan hidupku Untuk_Nya. Menjalani semua kehidupanku atas dasar kehendak_Nya. Tapi setelah ku di lahirkan di dunia, semua seolah ku lupakan. Aku begitu saja melupakan janjiku, aku malah menjalani hidupku semauku. Aku memang tak tahu malu.
Saat masih kecil, saat ku masih kanak-kanak. Aku tumbuh sebagai jiwa yang ingin tahu dan penasaran akan hal-hal yang baru. Sehingga kadang ibu dan ayah begitu kerepotan menjaga dan merawatku. Ia selalu mengajarkanku akan artinya cinta dan kasih sayang. Ia katakan padaku bahwa jagalah selalu hatimu untuk_Nya, karena dengan menjaga cinta_Nya maka engkau kan selalu di cintai_Nya dengan penuh kasih. Tapi setelah ku beranjak dewasa, aku pun lupa atau memang sengaja melupakan kata-kata ibu dan ayah. Aku malah sembarangan memberikan hatiku, sembarangan mengumbar cintaku.
Betapa mudahnya ku bagi-bagikan kepada siapa saja, sehingga saat ku kecewa Tuhan seolah diam saja tak membantuku. Padahal itu semua Tuhan lakukan agar aku belajar cinta yang sesungguhnya, bahwa cinta itu hanya untuk_Nya. Tapi aku seolah tak pernah kapok, aku malah semakin menjadi dan mengumbarnya kesana-sini.
Saat usiaku belasan tahun, masa-masa sweet seventen. Harusnya aku menjaga idahku, harusnya aku menjaga diriku. Kini usiaku sudah kepala dua, masa-masa labil pun mulai berkurang. Namun tetap saja aku masih belum bisa menjaga diriku, aku masih belum bisa menjaga kehormatanku, aku masih belum bisa menjaga lisanku. Padahal selayaknya dengan semakin bertambahnya usia, maka semakin baik pula ahlakku. Tapi mengapa justru kebalikannya?
Dulu ketika aku masih kecil, aku masih ingat bacaan yang sering ku lantunkan dan ku hapal adalah mengaji. Tapi kini, aku lebih hapal lagu-lagu yang bahkan tak ada manfaatnya untuk kebaikkanku.
Dulu ibu selalu mengajarkan bagaiman caranya mesti berpakaian, ia selalu meminta ku untuk menutupi tubuhku dari aurat yang terbuka. Tapi kini, aku malah sengaja membukanya, aku malah sengaja memakai pakaian yang ketat, yang seksi, yang seolah tak sepenuhnya berpakaian. Aku tahu aku mungkin salah satu deri mereka yang korban mode, tapi mengapa aku masih saja mengenakannya padahal ku tahu semua itu dapat merendahkan derajatku. Melunturkan kehormatanku.?.
Usia memaksaku untuk memikirkan masa depan, memikirkan keluarga kecilku yang bahagia, memikirkan rumah kecilku yang disana kan hidup suami/istriku dan anak-anakku yang lucu-lucu dan mungil. Hidup bahagia penuh kasih sayang..
Sehingga memaksaku tuk bekerja keras tanpa mengenal lelah dan waktu, memaksaku mengejar karir setinggi langit. Mengejar hidup yang mapan, sehingga melupakan kewajibanku, melupakan tugasku sebagai manusia dan hamba Alloh.
Aku selalu berpatokan pada peribahasa “kejarlah cita-citamu setinggi langit”. Tapi cita-cita yang mana? Mungkin bagiku dunia adalah segalanya, bagiku dimana ada uang dan materi disitu ada kebahagiaan. Aku lupa, padahal kebahagiaan itu Tuhan yang menentukan. Toh sampai saat ini aku masih seperti kemarin rasanya, yang berbeda hanya materi. Tapi kebahagiaan tetap saja tak mampu ku beli dengan semua yang ku punya..
Aku yakin Tuhan itu ada, aku pun yakin kalau dunia ini Tuhan yang mengatur. Aku juga yakin kalau aku ini muslim, aku selau shalat seperti yang lainnya. Tapi benarkah aku muslim? Sedangkan Shalatku saja aku tak paham maknanya, sedangkan arti islam itu sendiri aku tak tahu, sedangkan menjaga kehormatan diri saja aku tak bisa, sedangkan untuk mengenal diriku yang sesungguhnya saja aku tak tahu.
Siapa aku? Aku seolah kehilangan jati diriku yang sesungguhnya. Sekarang untuk mengenali diri sendiri saja aku tak bisa, lalu bagaiman mungkin aku dapat mengenali orang lain.? Sekarang untuk menyayangi diri sendiri saja aku tak mampu, lalu bagaimana mungkin aku bisa menyayangi orang lain, bagaimana mungkin aku dapat menyayangi keluargaku.? Sekarang menjaga kehormatan diri sendiri saja aku sudah tak bisa, lalu bagaimana mungkin aku dapat menjaga kehormatan orang lain, menjaga kehormatan adik, kakak, orang tua, dan keluargaku.
Aku selalu sombong dengan semua yang ku punya, sombong dengan harta yang berlimpah, sombong dengan jabatan yang tinggi, sombong dengan ilmu yang ku punya yang ku anggap lebih hebat dari mereka, sombong dengan pendidikanku yang lebih tinggi dari orang lain.
Padahal, apalah yang bisa ku sombongkan dari harta yang secuil di bumi Tuhan, dari ilmu yang setetes dari lautan ilmu Tuhan, dan status sosial yang hanya berlaku di pandangan manusia. Sedangkan Tuhan tak pernah memandangku, harusnya aku malu. Harusnya aku tahu diri bahwa semua yang ku punya kini adalah berkat pertolongan Tuhan. Tapi kenapa aku masih bersikukuh bahwa apa yang ku miliki kini adalah hasil dari kerja kerasku selama ini. Memang semua ini adalah hasil kerja kerasku, tapi pada akhirnya yang menentukan rejeki yang berlimpah itu datang padaku adalah Tuhan.
Ya Tuhan... begitu panjang perjalanan ini mesti ku tempuh, telah begitu banyak kisah yang ku rangkai di dunia_Mu. Melukis segala mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang indah. Tapi begitu banyak pula waktu yang ku sia-siakan tanpa_Mu. Begitu banyak teguran cinta_Mu yang ku abaikan, begitu banyak nada-nada lembut_Mu yang menyentuh kalbu tanpa kusadari.
Ya Tuhan... kini aku bermunajat pada_Mu, memohon ampunan_Mu, meminta segala kerendahan_Mu untuk meluruskan hatiku, untuk mengembalikanku pada Fitrahku sebagai hamba_Mu.
Ya Tuhan.... jadikan cinta_Mu indah bagiku, sehingga mampu mengoyak semua kesombongan dan keangkuhanku.
Ya Tuhan.... jadikan aku sebagai manusia yang sesungguhnya, yang patuh dan taat hanya kepada_Mu.
Aamiin...
Mulya Riadianto
Minggu, 15.23 WIB
Pasirtalaga, 18 Desember 2011